1.
Berdirinya
Kerajaan Kediri
Sejarah Awal
Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula
disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri
Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama
Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama
Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya
bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa. Airlangga
memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah
mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).
Menurut Prasasti Pucangan, pada
tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara
Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tiba-tiba
kota Watan diserbu Raja Wurawari dari Lwaram, yang merupakan
sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu,
Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri)
ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun,
dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga
sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa
Timur.
Nama kerajaan yang didirikan
Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan.
Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang
pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga
didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan
Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru
bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.
Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).
Menurut Prasasti Terep (1032),
Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa
Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah
ke Kahuripan
(daerah Sidoarjo sekarang).
Menurut Prasasti Pamwatan (1042),
pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini
sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga
sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja
Panjalu yang berpusat di Daha.
Ketika Airlangga naik takhta tahun
1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo
dan Pasuruan
saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan
diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk
menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa.
Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya
yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini membuat
Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa.
Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun
1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja
Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa.
Pada tahun 1031 putera Panuda
mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa
dihancurkan pula.
Pada tahun 1032 seorang raja wanita
dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan
Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani
Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita
itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu
Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir,
pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang
pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun
kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Setelah keadaan aman, Airlangga
mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya.
Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
- Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
- Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037
untuk mencegah banjir musiman.
- Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya
di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
- Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah
pesisir ke pusat kerajaan.
- Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
- Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Airlangga juga menaruh perhatian
terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha
yang diadaptasi dari epik Mahabharata.
Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai
kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pada tahun 1042 Airlangga turun
takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi
Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi
Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042)
yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang
Pinaka Catraning Bhuwana. Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga
menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci.
Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang
(1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga
kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan
takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan
salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke
Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.
Fakta sejarah menunjukkan Udayana
digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata
kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga terpaksa membagi dua
wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian
barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang,
Nagarakretagama, dan Prasasti
Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat
disebut Panjalu atau Kadiri
berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan
kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah
oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November
1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24
November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian,
peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal
tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059)
peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku
dimakamkan di tirtha atau pemandian.
Kolam pemandian yang paling sesuai
dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng
Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua
dewi. Berdasarkan Prasasti
Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang
taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga
dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada
Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah
tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi
pemandian tersebut.
Maharaja Jayabhaya
adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar
lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara
Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan
Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa
prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144),
serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa
juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya
Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah
untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan
Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja
yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa
atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh tahun 1157.
Kerajaan Kadiri atau Kerajaan
Panjalu adalah Kerajaan yang terletak di Jawa Timur antara tahun 1042-1222.
Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri
sekarang. Pada tahun 1042, Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan
menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana
yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut
dikenal dengan sebutan Jenggala dan Panjalu, yang dibatasi oleh gunung Kawi dan
sungai Brantas. Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi
pertikaian diantara kedua putranya. Pembagian Kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala
(Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya
(1289M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang
(1540 M).
Begitu Raja Airlangga wafat,
terjadilah peperangan antara kedua bersaudara tersebut. Panjalu dapat dikuasai
Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam
prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda
Mukha
2. Sumber-Sumber
Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Kediri berasal dari beberapa
prasasti sebagai berikut.
Prasasti
·
Prasasti
Sirah Keting (1104 M), yang memuat tentang pemberian hadiah tanah kepada rakyat
desa oleh Raja Jayawarsa.
·
Prasasti
yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan,
diperkirakan berasal dari Raja Bameswara (1117-1130 M).
·
Prasasti
Ngantang (1135 M), yang menyebutkan tentang Raja Jayabaya yang memberikan
hadiah kepada rakyat Desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak.
·
Prasasti
Jaring (1181 M) dari Raja Gandra yang memuat tentang sejumlah nama-nama hewan
seperti Kebo Waruga dan Tikus finada.
·
Prasasti
Kamulan (1194 M), yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Kertajaya,
Kerajaan Kediri telah berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana di
Katang-katang.
2. Faktor
Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri runtuh pada masa
pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton
dan Nagarakretagama.
Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana,
perselisihan ini terjadi karena Raja Kertajaya memerintahakan kaum brahmana
untuk menyembah dia sebagai raja, namun para kaum Brahmana menolak yang
kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken
Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan
Kadiri. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat
desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya.
Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian
menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.
Setelah Ken Arok mengangkat
Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok
mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258
Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271
Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana
leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh
Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya
bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan
Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden
Wijaya.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "SEJARAH BERDIRINYA KERAJAAN KEDIRI"
Post a Comment